ELARTIZEN – Tari Sang Hyang Jaran merupakan tarian sakral yang hanya dipentaskan saat prosesi piodalan di Pura Dalem Kedewatan Sanur. Tradisi yang digelar setiap Tilem Kajeng ini sempat hilang selama 78 tahun sebelum akhirnya ditampilkan kembali di awal tahun 2016. Hal itu yang diungkapkan Pemangku Pura Dalem Kedewatan, Mangku Pemade Agung, Jumat (8/2).
Suasana sore itu begitu khidmat. Serabut kelapa telah disiapkan di halaman tengah jaba Pura Dalem Kedewataan Sanur. Puluhan pemaksan pura terlihat sudah berkumpul di sisi timur. Prosesi Sang Hyang Jaran Mesolah dimulai ketika ketua pemaksan membakar seluruh sabut kelapa yang telah di persiapkan.
Iringan kidung khusus yang dilantunkan para anggota pemaksan pun sayup-sayup terdengar. Kedua pratima berbentuk jaran berwarna putih dan merah terlihat tedun diiringi nyanyian kidung yang semakin keras. Pratima jaran yang disungsung masyarakat desa pekraman sanur terlihat di sungsung oleh dua orang laki – laki. Dan ditunggangi menuju kobaran api di area jaba pura.
Tempo Kidung Sang Hyang Jaran dinyanyikan semakin cepat. Kedua laki – laki yang telah mengalami trance itu pun bergerak lincah mengelilingi kobaran api. “Mereka dalam kondisi yang tidak sadar. Sebelum mesolah ada prosesi nedunin tadi di dalam pura,” jelas Pemade Agung.

Penari kesurupan saat menarikan Tari Sanghyang Jaran saat Pagelaran Seni Tradisi Tari Sanghyang di Banjar Adat Sesana Kerta Warsa Jangu, Karangasem, Bali.
Yang menarik, kedua laki – laki tersebut tanpa pikir panjang langsung menerjang tumpukan sabut kelapa yang terbakar. Namun setelah beberapa kali menerjang api, salah satu penyungsung Pratima Sang Hyang Jaran terlihat lemas dan tersungkur. Dengan cepat salah satu anggota pemaksan menarik pratimanya agar tidak terkena tanah. “Sudah, sampai situ saja kekuatan si penyungsung. Mungkin dia tidak kuat terlalu lama menjadi wadah Ida Bhatara Sang Hyang Jaran,” jelasnya.
Lalu sejak kapan tradisi tersebut dilaksanakan? Pemangku pura dalem ini menjelaskan. Tradisi Sang Hyang Jaran telah ada sejak berpuluh tahun yang lalu.
“Pratima jaran itu sudah ada di pura dalem kedewatan sejak puluhan tahun lalu. Tradisi Sang Hyang Jaran terakhir dipentaskan di tahun 1938. Setelah tahun 1938 tradisi itu tidak pernah lagi dipentaskan,” ungkapnya.
Lantas mengapa tradisi tersebut sempat lama tak dilaksanakan? “Nah pemangku yang ngiring Ida Bhatara Sang Hyang Jaran dulu, seda atau meninggal. Nah sejak itu tradisi ini tidak pernah dilakukan. Baru kembali di lakukan di tahun 2016, kebetulan beliau sudah menemukan seseorang yang tepat untuk ngiring,” paparnya.
Lantas apa mitologi dan makna Sang Hyang Jaran sendiri? Menurutnya dahulu di desa pekram sanur sering terjadi wabah penyakit dan mara bahaya. ” Dulu ada grubug, waktu di peluasin di Pura Dalem, ida Sang Hyang Jaran bersedia tedun untuk melindungi kami,” jelasnya.
Semenjak saat itu, dibuatkan sebuah pelinggih khusus untuk melinggihkan kedua pratima berbentuk jaran tersebut. “Memang sepasang. Yang putih biasanya pemangkunya langsung yang nyaluki . Kalau yang merah dipilih langsung ketika prosesi nedunin,” terangnya.
Lalu apakah ada dampak yang sempat dirasakan masyarakat desa sanur ketika tidak melaksanakan tradisi Sang Hyang Jaran? “Nah selama 78 tahun tidak melaksanakan, ada saja wabah penyakit yang datang. Memang tidak parah grubugnya. Tapi ya tetap saja kami waswas. Syukurnya saat ini sudah dapat kembali dilaksanakan,” ungkapnya.
Terakhir ia berharap tradisi ini bisa terus dilaksanakan. “Ya semoga tidak terputus lagi seperti kemarin. Tetap dapat terus dilaksanakan,” tandasnya.- Bali Express